Entri yang Diunggulkan

Dahulu Mana, Telur dan Ayam?

Pertanyaan klasik dan ajeg yg jadi bahan debat tanpa ujung jika ngrembug bab Sangkan adalah... . . . . . Disit ndi endog karo pitik? (Dulu m...

Kamis, 20 November 2014

Siapa Yang Ingin Ke Surga?

"Anak-anak, siapa yang ingin ke surga?" tanya Bunda Guru di PAUD anakku.

Hampir semua anak tunjuk jari, hampir... Sebab anakku g mau tunjuk
jari, tapi malah menangis.

"Kenapa nangis, Mamas?" tanya Bunda Guru.
"Mamas masih belum mau mati, masih belum mau pisah sama Ayah Bunda.
Kata Bunda, bisa ke surga setelah mati," jawab anakku sambil
sesenggukan dengan muka sedih.
Bunda Guru pun hanya tersenyum dan g tau harus bilang apalagi dengar
jawaban anakku.

Aku cuma senyum n ketawa pas Bundane Candra crita seperti itu.

Sungguh, g mudah memberi pemahaman tentang Surga pada anak kecil.
Terlebih saat Candra mburu, "Kapan kita bisa ke Surga? Naik apa
kesana? Di Surga ada apa aja? Kenapa harus ke Surga dan mau apa di
Surga?"

Pertanyaan sederhana, tapi jawabnya butuh mikir jero agar tepat,
simpel dan jelas sehingga mudah dipahami anak kecil tanpa membuatnya
takut atau khawatir.

Sebab, tujuane bukan membuat anak menurut dan berbuat baik karena
takut pada sesuatu, tapi memahami dan mengerti, membuka nalar dan
pikir anak bahwa dia tahu maksud dan tujuan dari semua perbuatannya,
jangan sampai merugikan diri sendiri apalagi orang lain.


Kedepannya, pasti akan lebih banyak lagi pertanyaan kritis... Dan
jalan keluarnya cuma satu, "BELAJAR!"

Why? Agar bisa memberi penjelasan awal yang baik sebagai dasar
pengetahuane Candra atau anak kecil lainnya yang bertanya dengan
kritis.

Kebumen, 20 November 2014
-Djati-

Sabtu, 15 November 2014

Dahulu Mana, Telur dan Ayam?

Pertanyaan klasik dan ajeg yg jadi bahan debat tanpa ujung jika ngrembug bab Sangkan adalah...
.
.
.
.
.
Disit ndi endog karo pitik?
(Dulu mana telur dengan ayam?)

Kalau ditinjau dari tata bahasanya, alias urutan katanya, maka dulu 'telur' daripada 'ayam'.
Mengapa?
Sebab, 'telur' disebut terlebih dahulu, barulah 'ayam' disebut.
Demikian juga jika posisi kata 'telur' dan 'ayam' ditukar, maka dulu 'ayam' daripada 'telur'.
Ini yang pertama yang jadi pokok perdebatan tak berujung, urutan kata.

Yang kedua, pasti berdebat bahwa 'telur' itu berasal dari 'ayam', maka tanpa ada 'ayam' pasti tak ada 'telur', yang kemudian akan dibantah bahwa, 'ayam' itu berasal dari 'telur', maka tanpa ada 'telur' mustahil adanya 'ayam'. Dan masing-masing pasti mathok bangkrung pada pendapatnya tanpa adanya titik temu, sebab tidak mungkin dua-duanya ada pada saat awal mula diciptakan.

Kalau menurutku, jawaban pertanyaan itu adalah 'telur' dahulu yang ada/diciptakan, hal ini sesuai dengan kenyataan adanya proses pertumbuhan dari Tesing Wiji-Lahir-Tumbuh dari kecil sampai
dewasa-Mati.

Semua berproses, tidak ujug-ujug mak jegagig jadi 'ayam'. Jika langsung jadi 'ayam' maka tak ada proses pertumbuhan, tesing Wiji, lahir dan mati. Kekal adanya sebab sudah dewasa.

Apa iya, nurunken wijine alias berkembang biake lahir langsung gedhe, dewasa? Ga mungkin! Bagaimana proses keluar anak dari induknya kalau
sang anak langsung dewasa?

Hal ini berlaku di semua dhumadhi urip (manungsa, hewan, tumbuh-tumbuhan).

Dadi, disit endog tinimbang ayam.
Disit Wiji Dhumadhi tinimbang Dhumadhine.


Kebumen, 14 November 2014, 8:50
-Djati-
#Wiji

Sabtu, 01 November 2014

Pendengar Yang Baik

Terkadang, jadi pendengar yg baik dan tetap diam malah lebih baik,
tinimbang komen malah salah dan mlenceng jaoooooooooooh dari konteks
yg dibicarakan sebab kita g tau apa yg jadi topiknya.

Nah, jika diberi kesempatan tuk bertanya, tanyakan yg belum dipahami
agar semua menjadi jelas.

Dengan demikian, kita jadi bisa memahami dan mencerna topik yg ada dg
lebih baik serta lebih obyektif.


-Djati-
#pendengar_yang_baik