Tuhan…
Sebagai manusia, aku selalu bertanya untuk apa Kau menciptakan alam semesta dan semua makhluk yang ada di dunia ini, sementara Diri-Mu Yang Teramat Agung sudah tak memerlukan apa pun?
Tuhanku Yang Maha Tahu… Aku selalu bertanya—meskipun dalam Kitab Suci terdapat uraian untuk apa makhluk Engkau ciptakan; Untuk apa manusia ada di bumi?
Apakah tujuan-Mu menciptakan manusia dan makhluk lainnya? Apakah hanya untuk menyembah-Mu dan mempelajari apapun yang ada di alam semesta yang luas ini, serta menantikan kehidupan setelah mati, sebagaimana yang telah Engkau janjikan dalam semua Kitab Suci para Nabi, para Rasul dan para Orang Suci?
Apakah Engkau Yang Maha Segalanya membutuhkan penyembahan, pengabdian? Untuk apa sebenarnya doa dan puji, sembah dan sujud itu?
Apakah untuk membuat manusia berahklak mulia, berbudi luhur, saling mengasihi, saling mengasuh, saling mengasah dalam kebaikan, menjaga keharuman nama dan pribadi sesamanya serta untuk kehidupan sesudah mati? Apakah hanya itu ya Tuhanku?
Tuhan… sepengetahuanku, berdoa dan bersujud adalah sebuah ritual, sebagai rasa syukur atas nikmat-Mu.
Namun, aku selalu bertanya, Tuluskah ritual itu dilakukan? Atau hanya sekedar menjalankan tradisi dan menjaga gengsi di depan orang lain? Jika hanya untuk sekedar menjalankan tradisi, dan menjaga gengsi di depan orang lain, lalu apa arti sembah sujud itu?
Mengapa aku bertanya? Karena ibadah (sesuai dengan agama dan keyakinan orang per orang) adalah cara untuk menjadi manusia yang berahklak mulia, dan menjadi tameng dari segala keinginan untuk berbuat dosa…
Tetapi, dalam kenyataannya? Semua omong kosong belaka ya, Tuhanku…
Berapa banyak manusia yang melakukan sembah-sujud dan berdoa pada-Mu setiap waktu? Ratusan, ribuan, jutaan bahkan mungkin milyaran. Tetapi… kenapa manusia yang melaksanakan ritual itu tetap saja tak terlindungi dari perbuatan tercela? Banyak manusia melaksanakan semua perintah-Mu… sekaligus melanggar larangan-Mu, Tuhanku Yang Maha Agung.
Tuhan, mengapa itu terjadi? Mengapa orang yang melakukan ibadah (shalat, kebaktian, misa, dll. sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing) masih juga berbuat dosa (yang terang-terangan maupun yang secara tertutup) ?
Apakah ini terjadi karena untuk mendapatkan pengampunan dari-Mu cukup dengan bertaubat dan berjanji tidak mengulangi melanggar larangan-Mu?
Cukup membaca Istighfar maupun bersedekah (Islam), cukup melakukan pengakuan dan penebusan dosa (Kristen) dan entah ritual apalagi di agama lain yang ku tak tahu… serta berjanji tak akan mengulanginya lagi, lalu akan mendapatkan pengampunan dosa?
Pada kenyataannya, hanya sedikit yang benar-benar bertaubat, lebih banyak yang mengulangi berbuat dosa dan kembali melakukan ritual taubat untuk mendapatkan pengampunan-Mu.
Apakah semudah itu untuk mendapatkan pengampunan-Mu Ya Allah Yang Maha Pengampun?
Begitu mudahkah semua? Tanpa ada pertanggungjawaban lagi, tanpa harus pusing dengan beban dosa karena telah hilang semua dosa setelah melakukan ritual membuang dosa, ritual meminta pengampunan dari-Mu?
Ataukah aku yang begitu naif, begitu skeptis, begitu picik, begitu bodoh sehingga tak dapat menyelami kedalaman dan kesakralan ajaran yang ada tentang perintah dan larangan-Mu?
Saat aku bertanya pada orang lain, “Apakah tak ada pertanggung- jawaban dan konsekuensi atas semua perbuatan manusia, yang baik maupun yang buruk?”
Pasti akan dijawab bahwa, “Semua perbuatan pasti membawa konsekuensi dan tanggung jawab, mungkin kau bisa melihat dan merasakannya, mungkin juga tidak.”
Tuhanku Yang Maha Mengetahui isi hati makhluk ciptaan-Nya, bagiku itu adalah jawaban standar, jawaban yang akan dijawab oleh setiap orang apabila ditanyakan hal tersebut.
Tak adakah jawaban yang lebih memuaskan dan memberi penerangan bagi jiwa yang bodoh ini?
Tuhan Yang Maha Suci, mengapa shalat, kebaktian, dan ritual keagamaan yang lainnya tetap saja susah tuk membawa manusia lepas dari perbuatan dosa—perbuatan yang merupakan dorongan dari dalam diri manusia itu sendiri karena dirinya lepas kendali?
Saat kutanyakan hal ini pada orang lain—yang mengerti tentang ajaran-Mu maupun yang hanya sekedar tahu, akan muncul jawaban, “Karena manusia kalah dengan bisikan setan, karena manusia kalah dengan bisikan hawa nafsunya sendiri. Karena dia lepas kontrol…” Dan masih banyak lagi jawaban yang serupa itu.
Namun, bagiku jawaban itu merupakan jawaban biasa yang secara tidak langsung memaklumi perbuatan yang salah, dan pada akhirnya… (akan) mengulangi kesalahan itu.
Mengapa manusia tetap saja melakukan kejahatan, keburukan, dosa, meskipun tahu bahwa itu salah?
Mengapa manusia selalu berkelit dengan mengatakan bahwa dia tergoda setan, bahwa dia khilaf, bahwa dia lepas kontrol?
Tuhan Yang Maha Pemberi Terang, jika demikian halnya, semua hal salah yang dilakukan manusia adalah hasil perbuatan makhluk lain (Setan), bukan perbuatannya sendiri? Begitu mudahkah mencari pembenaran sendiri?
Apakah semua perbuatan buruk itu bukan perbuatan orang itu sendiri? Mengapa harus mengatakan kalau perbuatan salah terjadi karena dia tergoda Setan?
Tuhanku Yang senantiasa melimpahkan nikmat-Mu pada seluruh umat-Mu, aku tahu, aku terlalu bodoh untuk memahami hal itu…
Tuhan Yang Maha Mendengar… sesungguhnya (bagiku) setan itu adalah diri manusia itu sendiri, karena dia terbawa oleh keinginannya yang liar dan bodoh! (terlepas dari pengertian bahwa Setan itu ada, tak terlihat dan tugasnya menggoda manusia tuk berbuat salah) .
Pada hakekatnya (dari apa yang kupelajari, kupahami, kurenungkan selama ini), semua perbuatan manusia selalu berasal dari manusia itu sendiri, dan selalu menuntut tanggung jawab yang sesuai dengan tindakan yang dilakukannya.
Bahwa, permohonan maaf, pengucapan Istighfar, pengakuan dosa, penebusan dosa dan hal/ritual lain yang bertujuan sama, tidak begitu saja menghapus dosa yang telah dilakukan, dan bisa mengulangi taubat agar diampuni dosanya saat manusia melakukan dosa lagi (baik dosa yang sama maupun dosa yang lainnya) .
Tak semudah itu taubat dilakukan, dan tak sesegera itu mendapat pengampunan dosa.
Pengampunan akan diberikan atau tidak kita tak kan pernah tahu sampai kita menjalani Hari Penghitungan. Yang kita tahu hanyalah reaksi orang di sekitar kita.
Karenanya, kesalahan, keburukan, kejahatan, kebodohan, hanya dapat dibetulkan, diselesaikan, diatasi oleh diri kita sendiri, bukan oleh orang lain. Orang lain hanya memberi tahu bahwa kita salah, berhasil tidaknya kita memperbaiki, tergantung dari usaha diri kita sendiri.
Demikian juga semua akibat perbuatan kita, harus kita sendiri yang mempertanggungjawabkannya (baik-buruknya hasil perbuatan kita akan berimbas kepada orang-orang terdekat kita, langsung maupun tidak langsung) .
Ritual memohon pengampunan, bertaubat, baru memberi makna saat kita benar-benar memohon ampun, bertaubat dan tetap tidak mengulangi keburukan yang telah kita lakukan.
Tuhanku, shalat, sembah dan sujud, kebaktian yang dilakukan manusia serta ibadah lainnya sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, yang bertujuan membuat manusia berahklak mulia, ternyata tak membawa hasil seperti yang diharapkan, mengapa masih banyak saja yang berbuat salah (termasuk aku sendiri) ?
Apa arti semua itu, Ya Allah?
Bagiku, semua itu baru mempunyai arti, mempunyai makna, mempunyai pengaruh, saat melakukannya dengan sepenuh hati, sepenuh jiwa dan raga.
Ketika seluruh diri pribadi hadir dengan segenap ketulusan dan keiklasan, berserah diri, bersujud dan menyembah kehadirat-Mu Yang Maha Kudus Ya Ilahi…
Kala tak peduli akan omongan orang tentang apa yang kulakukan saat aku bersujud, bersyukur kehadapan-Mu Yang Maha Pemberi Ketentraman dan Kebahagiaan…
Hanya berpikir tuk bersyukur dan bersyukur, hanya berpikir untuk menyampaikan apa yang ada di kedalaman nurani kepada-Mu Yang Maha Waskita.
Dan tak boleh berhenti tuk tetap melakukan hal ini meskipun diriku tak bisa tuk sepenuhnya berpikir bahwa aku sedang bersujud, bersyukur, ke haribaan Yang Maha Tunggal… Karena, saat itu dilakukan… semakin jauh ku terperosok ke sesuatu yang salah!
Kontrol diri adalah dengan perenungan, dengan sembah sujud, dengan bersyukur, sekecil apapun bagian diri yang bersyukur…
Saat melakukannya dengan segenap kesadaran bahwa, semua ibadah yang dilakukan harus diimplementasikan di kehidupan nyata.
Bahwa, keburukan, kejahatan, serta sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai humanisme dan Ketuhanan akan menghancurkan kehidupanku (manusia) sendiri.
Bahwa tugas manusia adalah mencari dan mengetahui hakekat mengapa dia diciptakan, mencari dan mengetahui makna dan hakekat doa, sembah-sujud, dan ibadah yang dilakukannya, mencari dan mengetahui hakekat Kebenaran Sejati, Ketuhanan Yang Hakiki, dan hakekat Allah Yang Maha Segalanya.
Karena itu, setelah aku beribadah, berdoa, bersujud, bersyukur atas semu nikmat-Nya, aku tak seharusnya bertindak konyol, bertindak bodoh yang pada akhirnya merugikan diriku sendiri maupun orang lain.
Meskipun pada kenyataannya, aku masih saja kesulitan tuk menjadi yang terbaik bagi diriku sendiri, dan kesulitan tuk menjalankan semua perintah-Mu dan menjauhi semua larangan-Mu…
Menjalankan semua perintah-Mu dan menjauhi segala larangan-Mu, teramat susah walau mudah diucapkan, Ya Allah… Ya Rabbi… benar-benar penuh perjuangan agar semua bisa dilakukan dengan sepenuh hati dan pantang menyerah, Ya Sang Khaliq…
Dan tak boleh berhenti begitu saja saat menemui halangan serta rintangan dalam menjalani semua ini agar apa yang kita yakini dan pahami bisa benar-benar tercapai.
Tuhanku Yang Maha Memahami… benarkah pemahamanku ini? Ataukah ini sesuatu yang salah? Ataukah… ada pemahaman yang lebih dalam lagi? Hanya ini kemampuanku tuk memahami hal itu… Aku terlalu bodoh untuk memahami lebih dalam lagi…